Jumat, 27 Februari 2015

Sejarah Singkat Peradilan Agama di Indonesia



1. Peradilan Agama adalah merupakan peradilan khusus
(UU No14/1970) karena hanya mengadili perkara khusus
(UUPA No.3/2006),meliputi : perkara perkawinan,
kewarisan, perwakafan, hibah, shadaqah, zakat, wasiat dan
ekonomi syariah.

2. Peradilan Agama Provisinsi Aceh, disamping memiliki kewenangan
sama dengan peradilan agama lainnya, juga berwenang mengadili
perkara pidana khusus (UU No.4/2004 tentang Kukuasaan
Kehakiman).

3. Organisasi, Administrasi dan Finansial Peradilan Agama di bawah
kekuasaan Mahkamah Agung.(UUPA No 3/2006)

Peradilan Agama sebelum Tahun 1882
      Sebelum Islam masuk ke Indonesia, di jawa dikenal dua peradilan, yaitu Peradilan Padu (pidana) dengan menggunakan hukum hindu dan Peradilan Perdata dengan menggunakan hukum adat.
      Peradilan Islam (secara embrio) telah muncul bersamaan dengan masuknya Islam di Indonesia pada abad pertama hijriyah atau abad ketujuh masehi, melalui saudagar Arab skaligus sebagai mubaligh yang mengajarkan tentang selain ibadah mahdhah juga masalah pernikahan, kewarisan, dan perwakafan dengan sistem peradilan yang disebut qadla’.
      Bila terjadi masalah-masalah perkawinan, mereka selesaikan sesuai hukum Islam melalui lembaga tahkim.
      Pada  periode berikutnya sistem tahkim diganti menjadi sistem tauliyah ahl al-hal wa al-aqd dan berkembang menjadi tauliyah wali al-amr.Hal ini bisa dilihat ketika pada masa pemerintaha n Belanda, menyerahkan sebagian kekuasaan perdata kepada kesultanan atau raja-raja (kerajaan Samudera Pasai, Aceh, Demak dan Banten).
      Pada periode tauliyah wali al-amar, hampir disemua Swapraja Islam, jabatan keagamaan dilaksanakan oleh pejabat agama. Ditingkat desa disebut kaum,kaim,modin,amil.Ditingkat kecamatan disebut Penghulu Nabi. Ditingkat Kabupaten disebut Penghulu, seda. Dan ditingkat kerajaan disebut Penghulu Agung yang kemudian dikenal dengan Pengadilan Serambi.


Peradilan Agama di Jawa

Ø  Ketika kerajaan Mataram diperintah oleh Sultan Agung dengan sebutan Sayyidin Panotogomo Abdurrahman, terlihat kekuasaan Islam dengan simbul tiga tempat, yaitu Istana, alun-alun persegi empat, dan masjid.
Ø  Setelah Sultan Agung wafat di gantikan oleh Amangkurat I (1645), kemudian disusul jatuhnya kerajaan mataram ketika dipegang oleh Amangkurat II dan kerajaan mataram pecah menjadi dua, Yogyakarta dan Surakarta, Pemerintah Belanda mulai turut campur tangan dalam urusan peradilan Islam.
Ø  Penasehat hukum Islam pemerintah Belanda menyusun konsep berlakunya hukum Islam bagi masyarakat Indonesia :
+ D.W Freijer : Menyusun compedium hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam.
+ Lodwijk Willem Christan Van den Berg : menyusun teori bahwa hukum Islam diterapkan/berlaku bagi penganut Islam secara keseluruhan dalam bidang perkawinan dan kewarisan. ( Receptio in coplexu).
+ Snouch Horgronje, merumuskan teori yang dikenal : “Teori Receptie”.Bahwa hukum Islam hanya berlaku bagi orang Islam yang menurut kehidupan sehari-harinya menggunakan hukum Islam, yaitu dalam perkawinan ( nikah, talak, rujuk, mahar, nafakah). Untuk masalah pebagian harta warisan, pembagian harta bersama, dan pengesahan anak berlaku hukum adat).
+ Hazairin (Sarjana Indonesia Asli), membantah teori Snouch, menurutnya : hukum Islam secara keseluruhan (perkawinan dan kewarisan) berlaku bagi orang Islam ( teori : Receptie Exit ).


Peradilan Agama Setelah 1882

      Pada tahun 1882, pemerintah Belanda mengelurkan peraturan (Staatblat No. 152) membentuk Pengadilan Agama ( Priester rad )  di Jawa dan Madura yang mempunyai kekuasaan mengadili perkara-perkara perkawinan (nikah, telak, rujuk, mahar, dan hadlanah), sedang masalah waris menjadi kewenangan Landrad (Pengadilan Negeri).
      Pada tahun 1937 dengan No. 116 dan 610, pemerintah Belanda membentuk Pengadilan di Kalimantar Selatan dan Timur, dengan sebutan Mahkamah Syari’ah, yang berwenang mengadili perkara perkawinan dan kewarisan.


Peradilan Agama Awal Kemerdekaan RI

      Kewenangan Peradilan Agama masih meneruskan sistem yang dibangun oleh Pemerintah Belanda,kecuali selain membentuk pengadilan tingkat pertama, juga membentuk pengadilan tingkat tinggi ( Mahkamah Islam Tinggi ) yang berkedudukan di Kota Solo.
      Kekuasan untuk mengatur, membina dan mengawasi jalannya peradilan Agama di serahkan kepada Kementerian Agama.
      Putusan-putusan Pengadilan Agama untuk dapat dijalankan (eksekusi) harus mendapatkan pengesahan dari Pengadilan Negeri, karena Pengadilan agama tidak mempunyai kewenangan eksekutoir.


Peradilan Agama setelah tahun 1970

      Melalui Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman RI, No.14/1970, memberikan kedudukan Peradilan Agama sejajar dengan Penadilan yang lain sebagai lembaga kekuasaan Negara yang menyelenggarakan peradilan.
    “ Kekusaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna mengakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasilan demi terselenggarnya Negara Hukum Republik Indonesia” (UU Kekasaan Kehakiman No. 14/1970 ps.1)
    “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan :a. Peradilan Umum, b. Peradilan Agama, c. Peradilan Militer, dan d. Peradilan Tata Usaha Negara”.(UUKK, ps. 10)
      Peradilan Agama adalah lembaga peradilan khusus Negara disamping peradilan Umum.
      Mahkamah Agung adalah lembaga pengadilan tertinggi Negara yang berwenang mengadili putusan-putusan tingkat terakhir (Pengadilan Tinggi) dari masing lingkungan peradilan.
      Pengadilan Agama melaksanakan fungsinya berdasarkan UU Kekuasaan Kehakiman yang berlaku.
      Pengadilan Agama memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang : a. Perkawinan, b. Kewarisan, wasiat, dan hibah, c. Wakaf dan shadaqah, dan d. Ekonomi Syari’ah.(UUPA No.3/2006)
       Pengadilan Tinggi Agama berwenang mengadili perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama  dalam tingkat banding. 
      Bila terjadi sengketa kewenangan, diputus oleh Mahkamah Agung.



M.Zayin Chudlori
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar