1. Peradilan
Agama adalah merupakan peradilan khusus
(UU
No14/1970) karena hanya mengadili perkara khusus
(UUPA
No.3/2006),meliputi : perkara perkawinan,
kewarisan,
perwakafan, hibah, shadaqah, zakat, wasiat dan
ekonomi
syariah.
2. Peradilan
Agama Provisinsi Aceh, disamping memiliki kewenangan
sama dengan
peradilan agama lainnya, juga berwenang mengadili
perkara
pidana khusus (UU No.4/2004 tentang Kukuasaan
Kehakiman).
3.
Organisasi, Administrasi dan Finansial Peradilan Agama di bawah
kekuasaan
Mahkamah Agung.(UUPA No 3/2006)
Peradilan
Agama sebelum Tahun 1882
•
Sebelum Islam masuk ke Indonesia, di jawa dikenal dua
peradilan, yaitu Peradilan Padu (pidana) dengan menggunakan hukum hindu dan
Peradilan Perdata dengan menggunakan hukum adat.
•
Peradilan Islam (secara embrio) telah muncul bersamaan
dengan masuknya Islam di Indonesia pada abad pertama hijriyah atau abad ketujuh
masehi, melalui saudagar Arab skaligus sebagai mubaligh yang mengajarkan
tentang selain ibadah mahdhah juga masalah pernikahan, kewarisan, dan
perwakafan dengan sistem peradilan yang disebut qadla’.
•
Bila terjadi masalah-masalah perkawinan, mereka
selesaikan sesuai hukum Islam melalui lembaga tahkim.
•
Pada periode
berikutnya sistem tahkim diganti menjadi sistem tauliyah ahl al-hal wa al-aqd dan berkembang menjadi tauliyah
wali al-amr.Hal ini bisa dilihat ketika pada masa pemerintaha n Belanda,
menyerahkan sebagian kekuasaan perdata kepada kesultanan atau raja-raja
(kerajaan Samudera Pasai, Aceh, Demak dan Banten).
•
Pada periode tauliyah wali al-amar, hampir
disemua Swapraja Islam, jabatan keagamaan dilaksanakan oleh pejabat agama.
Ditingkat desa disebut kaum,kaim,modin,amil.Ditingkat kecamatan disebut Penghulu
Nabi. Ditingkat Kabupaten disebut Penghulu, seda. Dan ditingkat
kerajaan disebut Penghulu Agung yang kemudian dikenal dengan Pengadilan
Serambi.
Peradilan Agama di Jawa
Ø Ketika kerajaan
Mataram diperintah oleh Sultan Agung dengan sebutan Sayyidin Panotogomo
Abdurrahman, terlihat kekuasaan Islam dengan simbul tiga tempat, yaitu
Istana, alun-alun persegi empat, dan masjid.
Ø Setelah Sultan
Agung wafat di gantikan oleh Amangkurat I (1645), kemudian disusul jatuhnya
kerajaan mataram ketika dipegang oleh Amangkurat II dan kerajaan mataram pecah
menjadi dua, Yogyakarta dan Surakarta, Pemerintah Belanda mulai turut campur
tangan dalam urusan peradilan Islam.
Ø Penasehat hukum
Islam pemerintah Belanda menyusun konsep berlakunya hukum Islam bagi masyarakat
Indonesia :
+ D.W Freijer : Menyusun compedium hukum perkawinan dan hukum
kewarisan Islam.
+ Lodwijk Willem Christan Van den Berg : menyusun teori bahwa
hukum Islam diterapkan/berlaku bagi penganut Islam secara keseluruhan dalam
bidang perkawinan dan kewarisan. ( Receptio in coplexu).
+ Snouch Horgronje, merumuskan teori yang dikenal : “Teori
Receptie”.Bahwa hukum Islam hanya berlaku bagi orang Islam yang menurut
kehidupan sehari-harinya menggunakan hukum Islam, yaitu dalam perkawinan (
nikah, talak, rujuk, mahar, nafakah). Untuk masalah pebagian harta warisan,
pembagian harta bersama, dan pengesahan anak berlaku hukum adat).
+ Hazairin (Sarjana Indonesia Asli), membantah teori Snouch,
menurutnya : hukum Islam secara keseluruhan (perkawinan dan kewarisan) berlaku
bagi orang Islam ( teori : Receptie Exit ).
Peradilan Agama Setelah 1882
•
Pada tahun 1882, pemerintah Belanda mengelurkan
peraturan (Staatblat No. 152) membentuk Pengadilan Agama ( Priester rad ) di Jawa dan Madura yang mempunyai kekuasaan
mengadili perkara-perkara perkawinan (nikah, telak, rujuk, mahar, dan
hadlanah), sedang masalah waris menjadi kewenangan Landrad (Pengadilan Negeri).
•
Pada tahun 1937 dengan No. 116 dan 610, pemerintah
Belanda membentuk Pengadilan di Kalimantar Selatan dan Timur, dengan sebutan
Mahkamah Syari’ah, yang berwenang mengadili perkara perkawinan dan kewarisan.
Peradilan Agama Awal Kemerdekaan RI
•
Kewenangan Peradilan Agama masih meneruskan sistem
yang dibangun oleh Pemerintah Belanda,kecuali selain membentuk pengadilan
tingkat pertama, juga membentuk pengadilan tingkat tinggi ( Mahkamah Islam
Tinggi ) yang berkedudukan di Kota Solo.
•
Kekuasan untuk mengatur, membina dan mengawasi
jalannya peradilan Agama di serahkan kepada Kementerian Agama.
•
Putusan-putusan Pengadilan Agama untuk dapat
dijalankan (eksekusi) harus mendapatkan pengesahan dari Pengadilan Negeri,
karena Pengadilan agama tidak mempunyai kewenangan eksekutoir.
Peradilan Agama setelah tahun 1970
•
Melalui Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman RI,
No.14/1970, memberikan kedudukan Peradilan Agama sejajar dengan Penadilan yang
lain sebagai lembaga kekuasaan Negara yang menyelenggarakan peradilan.
“ Kekusaan Kehakiman
adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
mengakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasilan demi terselenggarnya Negara
Hukum Republik Indonesia” (UU Kekasaan Kehakiman No. 14/1970 ps.1)
“Kekuasaan
Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan :a. Peradilan Umum, b.
Peradilan Agama, c. Peradilan Militer, dan d. Peradilan Tata Usaha
Negara”.(UUKK, ps. 10)
•
Peradilan Agama adalah lembaga peradilan khusus Negara
disamping peradilan Umum.
•
Mahkamah Agung adalah lembaga pengadilan tertinggi
Negara yang berwenang mengadili putusan-putusan tingkat terakhir (Pengadilan
Tinggi) dari masing lingkungan peradilan.
•
Pengadilan Agama melaksanakan fungsinya berdasarkan UU
Kekuasaan Kehakiman yang berlaku.
•
Pengadilan Agama memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam
dibidang : a. Perkawinan, b. Kewarisan, wasiat, dan hibah, c. Wakaf dan
shadaqah, dan d. Ekonomi Syari’ah.(UUPA No.3/2006)
•
Pengadilan
Tinggi Agama berwenang mengadili perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan
Agama dalam tingkat banding.
•
Bila terjadi sengketa kewenangan, diputus oleh
Mahkamah Agung.
M.Zayin
Chudlori
Tidak ada komentar:
Posting Komentar